Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan Qashidah Al-Burdah
by: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Ilmu dan keadilan Allah Subhanahuwata’ala selalu menyertai hamba-Nya. Kasih sayang-Nya senantiasa menyelimuti kehidupan mereka dan kebijaksanaan-Nya selalu mengiringi langkah mereka. Namun kelalaianlah yang telah menjadikan manusia itu lupa akan semuanya. Bukan hanya sekadar lupa, dimana itu lebih ringan, namun lupa diringi dengan penentangan terhadap kebijaksanaan Allah Subhanahuwata’ala serta melanggar segala perintah dan larangan-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahuwata’ala mereka balas dengan berbuat keji dan berbuat zalim, padahal kasih sayang Allah Subhanahuwata’ala meliputi segala sesuatu.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ( سورة الأعراف – سورة 156
"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu" (Al-A'raf : 156)
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahuwata’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Allah Subhanahuwata’ala menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus kepada mereka para nabi dan rasul untuk membimbing mereka ke jalan wahyu-Nya serta mengarahkan mereka kepada jalan yang akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Membimbing mereka ke jalan yang diridhai Allah Subhanahuwata’ala dan memperingatkan dari jalan yang dimurkai-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahuwata’ala kepada mereka tidak berakhir dengan habisnya masa kenabian dan kerasulan yang ditutup dengan Nabi kita Muhammad bin Abdullah shalu’alaihi wasallam. Namun Allah Subhanahuwata’ala telah membangkitkan kepada setiap generasi, ulama yang memiliki tugas untuk melangsungkan tugas para rasul di tengah umat ini. Termasuk dalam sederetan ulama tersebut adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Siapakah Beliau?
Beliau adalah Muhamad bin Idris bin Al-Abbas bin ‘Utsman bin Syafi' bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lua'i bin Ghalib, Abu Abdullah Al-Qurasyi Asy-Syafi’i Al-Makki rahimahullah.
Beliau adalah salah satu dari imam madzhab yang masyur di kalangan kaum muslimin. Beliau lahir pada tahun 150 H, tahun meninggalnya Abu Hanifah rahimahullah, di daerah Gaza. Para ulama telah menulis riwayat hidup Al-Imam Syafi'i rahimahullah dalam bentuk karya yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang imam yang dikagumi oleh kawan dan lawan.
Pada suatu ketika Al-Imam Ahmad rahimahullah duduk bersamanya. Lalu datanglah salah seorang teman beliau mencela beliau karena meninggalkan majelis Ibnu 'Uyainah rahimahullah - guru Al-Imam Asy-Syafi'i, lantas duduk bersama orang A'rabi (Arab dusun) ini. Lalu Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata kepadanya: "Diam kamu. Jika luput darimu hadits dengan sanad yang 'ali (tinggi) maka kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Jika luput dari hasil akal orang ini (Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah), aku khawatir kamu tidak mendapatkannya. Aku tidak melihat seorangpun yang lebih faqih tentang kitab Allah Subhanahuwata’ala dan sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallamdari pemuda ini (Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah)."
Beliau, Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Kalau bukan karena Asy-Syafi’i, dengan izin Allah Subhanahuwata’ala, niscaya kita tidak akan bisa memahami hadits." Dalam sebuah riwayat beliau berkata: "Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) adalah orang yang paling faqih tentang kitabullah dan sunnah Rasulullah shalu’alaihi wasallam."
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri rahimahullah, seorang imam dalam "Manaqib Asy-Syafi’i" berkata: "Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku: 'Tatkala saya pergi bersama Ahmad ke Asy-Syafi’i di Makkah, dan bertanya tentang benyak hal, saya dapati beliau adalah orang yang fasih dan baik akhlaknya. Tatkala kami berpisah dengannya, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir bahwasanya dia (Asy-Syafi’i rahimahullah) adalah orang yang paling mengerti tentang makna-makna Al-Qur'an (tafsir) pada masanya dan sungguh dia telah diberikan kefaqihan. Jika saya tahu (sebelumnya) niscaya saya akan bermulazamah (belajar khusus) kepadanya'."
Dawud rahimahullah berkata: "Saya melihat beliau (Ishaq bin Rahawaih rahimahullah) menyesali apa yang luput dari ilmunya (Asy-Syafi’i rahimahullah)." Bahkan penduduk Makkah menggelari beliau dengan Nashirul Hadits (pembela hadits) disebabkan kemasyuran beliau dalam membela sunnah dan semangat beliau yang tinggi untuk mengikutinya. (lihat Muqaddimah "Ar-Risalah" hal.6, tahqiq Ahmad Syakir rahimahullah dan "Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat Al-Aqidah, 1/20).
Abdurrahman bin Mahdi berkata: "Saya tercengang ketika melihat kitab 'Ar-Risalah', karena saya melihat ucapan seseorang yang berakal, fasih dan penasehati. Maka saya banyak berdoa untuknya."
Aqidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam menetapkan aqidah berjalan di atas jalan as-salafushalih dari umat ini. Hal ini terlihat dalam beberapa kaidah di bawah ini:
1. Konsekuen dengan Al-Qur'an dan As-sunnah serta Mendahulukan Keduanya Daripada Akal.
Mengambil apa yang datang di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan prinsip beliau rahimahullah. Ini merupakan salah satu prinsip Ahlussunnah, karena keduanya merupakan sumber pengambilan aqidah Islamiyyah. Tentunya, seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan adat-istiadat, ajaran nenek moyang, tahyul, khurafat, hasil olah akal, perasaan, siyasah (politik), ishtihsan (anggapan baik) atau lebih mendahulukan taklid daripada keduanya. Tidak ada petunjuk dan kemaslahatan melainkan dengan berpegang teguh pada keduanya. Inilah sesungguhnya sikap orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala, sebagaimana firman-Nya:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
( سورة النساء - سورة 65 )
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa' : 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
( سورة الأحزاب -36 )
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pillihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab : 36)
Di atas prinsip inilah, kaum salaf (para Sahabat radhiu’anhum) umat ini berjalan. Mereka beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahuwata’ala. Mereka juga beriman kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallamserta segala apa yang datang dari beliau. Mereka beribicara dengan kemampuan mereka tentang apa yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahuwata’ala untuk berbicara. Mereka pun diam pada perkara yang mereka tidak sanggup dan tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahuwata’ala.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah termasuk dari sederetan imam-imam salaf umat ini. Ucapan beliau yang masyhur adalah:
"Saya beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahuwata’ala, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahuwata’ala. Saya juga beriman kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan dengan segala apa yang datang dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. (lihat "Majmu' Fatawa, 4/2 dan 6/354)
2. Menetapkan Aqidah dengan Hadits-Hadits Ahad.
Para Sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan generasi setelah mereka dari kalangan tabi'in dan salaf umat ini telah bersepakat tentang wajibnya beramal dengan hadits walaupun itu hadits ahad, baik mereka mengatakan hadits ahad memberikan manfaat ilmu atau zhan (praduga). Tidak ada yang menyelisihi mereka dalam masalah ini kecuali sebagian kelompok yang tidak menganggapnya, seperti Mua'tazilah atau Rafidhah (kaum syiah yang mengkafirkan para Sahabat radhiallahu’anhum kecuali 'Ali radhiallahu'anhu). (lihat "Al-Ihkam karya Al-Amidi 2/64 dan "Irsyadul Fuhul" hal. 48-49).
Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata: "Beramal dengan hadits ahad merupakan pendapat seluruh tabi'in dan ulama fiqih generasi setelah mereka, di seluruh negeri kaum muslimin, pada setiap masa. Tidak ada satupun riwayat adanya pengingkaran dan penentangan dari mereka." (lihat "Al-Kifayah 72)
Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah membela madzhab salaf dalam hal wajibnya beramal dengan hadits-hadits ahad dalam seluruh perkara Islam, termasuk di dalamnya aqidah. Tidak pernah ada riwayat bahwa Al-Imam Asy-Syafi'i membedakan antara permasalahan aqidah dengan selainnya. Bahkan diriwayatkan dari beliau, ketika disampaikan hadits tentang kaum mukminin melihat Allah Subhanahuwata’ala pada hari kiamat nanti dengan mata langsung tanpa adanya hijab, beliau ditanya oleh Sa'id bin Asad: "Apa yang engkau katakan tentang hadits ru'yah (melihat Allah Subhanahuwata’ala)?" Beliau berkata kepadaku: "Wahai Ibnu Asad, coba putuskan, aku ini orang hidup atau telah mati? Setiap hadits yang shahih dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam sesungguhnya aku akan mengatakannya, walaupun belum sampai kepadaku." (lihat "Manaqib Asy-Syafi’i rahimahullah" karya al-Imam Baihaqi, 1/421).
Beliau juga telah membantah para pengingkar hadits ahad sebagai hujjah dalam maslah aqidah dan beliau memaparkan dalil-dalillnya.
3. Mengagungkan Pemahaman Salaf (para Sahabat radhiallahu’anhum) dan Mengikuti Mereka.
Sungguh pemaham Sahabat radhiallahu’anhum di kalangan ulama salaf memiliki kedudukan yang tinggi dan agung. Para Sahabat radhiallahu’anhum, merupakan qudwah (teladan) mereka baik dalam urusan agama ataupun dunia. Mereka seperti yang disebutkan oleh Ibnu Mas'ud : "Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang meniti jalan, maka hendaklah dia meniti jalan orang yang telah meninggal dunia karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari godaan. Mereka adalah Sahabat Muhammad shalallahu’alaihi wasallam. Mereka adalah umat yang paling utama, paling dalam ilmunya dan paling tidak membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahuwata’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka ketahuilah keutamaan mereka dan ikuti langkah-langkah mereka. Berpeganglah semampu kalian dengan akhlak dan agama mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus." (lihat "Jami' Bayanil 'Ilmi" 2/97 dan "Dar'ud Ta'arudh" 5/69).
Hudzaifah rahimahullah berkata: "Wahai sekalian ahli Qur'an, luruslah kalian dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian. Maka, demi Allah Subhanahuwata’ala, jika kalian lurus niscaya kalian telah melangkah jauh ke depan. Namun jika kalian menyimpang ke kanan dan ke kiri, maka kalian telah tersesat dengan kesesatan yang jauh." (disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab "Minhajus Sunnah, 5/81)
Al Imam Ahmad mengatakan: "Prinsip sunnah (aqidah) di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang telah dilalui oleh para Sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. (lihat "Jami' Bayan Al-Ilm 2/97 dan Minhajus Sunnah 6/81).
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ( سورة الأعراف – سورة 156
"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu" (Al-A'raf : 156)
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahuwata’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Allah Subhanahuwata’ala menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus kepada mereka para nabi dan rasul untuk membimbing mereka ke jalan wahyu-Nya serta mengarahkan mereka kepada jalan yang akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Membimbing mereka ke jalan yang diridhai Allah Subhanahuwata’ala dan memperingatkan dari jalan yang dimurkai-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahuwata’ala kepada mereka tidak berakhir dengan habisnya masa kenabian dan kerasulan yang ditutup dengan Nabi kita Muhammad bin Abdullah shalu’alaihi wasallam. Namun Allah Subhanahuwata’ala telah membangkitkan kepada setiap generasi, ulama yang memiliki tugas untuk melangsungkan tugas para rasul di tengah umat ini. Termasuk dalam sederetan ulama tersebut adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Siapakah Beliau?
Beliau adalah Muhamad bin Idris bin Al-Abbas bin ‘Utsman bin Syafi' bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lua'i bin Ghalib, Abu Abdullah Al-Qurasyi Asy-Syafi’i Al-Makki rahimahullah.
Beliau adalah salah satu dari imam madzhab yang masyur di kalangan kaum muslimin. Beliau lahir pada tahun 150 H, tahun meninggalnya Abu Hanifah rahimahullah, di daerah Gaza. Para ulama telah menulis riwayat hidup Al-Imam Syafi'i rahimahullah dalam bentuk karya yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang imam yang dikagumi oleh kawan dan lawan.
Pada suatu ketika Al-Imam Ahmad rahimahullah duduk bersamanya. Lalu datanglah salah seorang teman beliau mencela beliau karena meninggalkan majelis Ibnu 'Uyainah rahimahullah - guru Al-Imam Asy-Syafi'i, lantas duduk bersama orang A'rabi (Arab dusun) ini. Lalu Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata kepadanya: "Diam kamu. Jika luput darimu hadits dengan sanad yang 'ali (tinggi) maka kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Jika luput dari hasil akal orang ini (Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah), aku khawatir kamu tidak mendapatkannya. Aku tidak melihat seorangpun yang lebih faqih tentang kitab Allah Subhanahuwata’ala dan sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallamdari pemuda ini (Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah)."
Beliau, Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Kalau bukan karena Asy-Syafi’i, dengan izin Allah Subhanahuwata’ala, niscaya kita tidak akan bisa memahami hadits." Dalam sebuah riwayat beliau berkata: "Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) adalah orang yang paling faqih tentang kitabullah dan sunnah Rasulullah shalu’alaihi wasallam."
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri rahimahullah, seorang imam dalam "Manaqib Asy-Syafi’i" berkata: "Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku: 'Tatkala saya pergi bersama Ahmad ke Asy-Syafi’i di Makkah, dan bertanya tentang benyak hal, saya dapati beliau adalah orang yang fasih dan baik akhlaknya. Tatkala kami berpisah dengannya, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir bahwasanya dia (Asy-Syafi’i rahimahullah) adalah orang yang paling mengerti tentang makna-makna Al-Qur'an (tafsir) pada masanya dan sungguh dia telah diberikan kefaqihan. Jika saya tahu (sebelumnya) niscaya saya akan bermulazamah (belajar khusus) kepadanya'."
Dawud rahimahullah berkata: "Saya melihat beliau (Ishaq bin Rahawaih rahimahullah) menyesali apa yang luput dari ilmunya (Asy-Syafi’i rahimahullah)." Bahkan penduduk Makkah menggelari beliau dengan Nashirul Hadits (pembela hadits) disebabkan kemasyuran beliau dalam membela sunnah dan semangat beliau yang tinggi untuk mengikutinya. (lihat Muqaddimah "Ar-Risalah" hal.6, tahqiq Ahmad Syakir rahimahullah dan "Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat Al-Aqidah, 1/20).
Abdurrahman bin Mahdi berkata: "Saya tercengang ketika melihat kitab 'Ar-Risalah', karena saya melihat ucapan seseorang yang berakal, fasih dan penasehati. Maka saya banyak berdoa untuknya."
Aqidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam menetapkan aqidah berjalan di atas jalan as-salafushalih dari umat ini. Hal ini terlihat dalam beberapa kaidah di bawah ini:
1. Konsekuen dengan Al-Qur'an dan As-sunnah serta Mendahulukan Keduanya Daripada Akal.
Mengambil apa yang datang di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan prinsip beliau rahimahullah. Ini merupakan salah satu prinsip Ahlussunnah, karena keduanya merupakan sumber pengambilan aqidah Islamiyyah. Tentunya, seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan adat-istiadat, ajaran nenek moyang, tahyul, khurafat, hasil olah akal, perasaan, siyasah (politik), ishtihsan (anggapan baik) atau lebih mendahulukan taklid daripada keduanya. Tidak ada petunjuk dan kemaslahatan melainkan dengan berpegang teguh pada keduanya. Inilah sesungguhnya sikap orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala, sebagaimana firman-Nya:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
( سورة النساء - سورة 65 )
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa' : 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
( سورة الأحزاب -36 )
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pillihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab : 36)
Di atas prinsip inilah, kaum salaf (para Sahabat radhiu’anhum) umat ini berjalan. Mereka beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahuwata’ala. Mereka juga beriman kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallamserta segala apa yang datang dari beliau. Mereka beribicara dengan kemampuan mereka tentang apa yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahuwata’ala untuk berbicara. Mereka pun diam pada perkara yang mereka tidak sanggup dan tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahuwata’ala.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah termasuk dari sederetan imam-imam salaf umat ini. Ucapan beliau yang masyhur adalah:
"Saya beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahuwata’ala, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahuwata’ala. Saya juga beriman kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan dengan segala apa yang datang dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. (lihat "Majmu' Fatawa, 4/2 dan 6/354)
2. Menetapkan Aqidah dengan Hadits-Hadits Ahad.
Para Sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan generasi setelah mereka dari kalangan tabi'in dan salaf umat ini telah bersepakat tentang wajibnya beramal dengan hadits walaupun itu hadits ahad, baik mereka mengatakan hadits ahad memberikan manfaat ilmu atau zhan (praduga). Tidak ada yang menyelisihi mereka dalam masalah ini kecuali sebagian kelompok yang tidak menganggapnya, seperti Mua'tazilah atau Rafidhah (kaum syiah yang mengkafirkan para Sahabat radhiallahu’anhum kecuali 'Ali radhiallahu'anhu). (lihat "Al-Ihkam karya Al-Amidi 2/64 dan "Irsyadul Fuhul" hal. 48-49).
Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata: "Beramal dengan hadits ahad merupakan pendapat seluruh tabi'in dan ulama fiqih generasi setelah mereka, di seluruh negeri kaum muslimin, pada setiap masa. Tidak ada satupun riwayat adanya pengingkaran dan penentangan dari mereka." (lihat "Al-Kifayah 72)
Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah membela madzhab salaf dalam hal wajibnya beramal dengan hadits-hadits ahad dalam seluruh perkara Islam, termasuk di dalamnya aqidah. Tidak pernah ada riwayat bahwa Al-Imam Asy-Syafi'i membedakan antara permasalahan aqidah dengan selainnya. Bahkan diriwayatkan dari beliau, ketika disampaikan hadits tentang kaum mukminin melihat Allah Subhanahuwata’ala pada hari kiamat nanti dengan mata langsung tanpa adanya hijab, beliau ditanya oleh Sa'id bin Asad: "Apa yang engkau katakan tentang hadits ru'yah (melihat Allah Subhanahuwata’ala)?" Beliau berkata kepadaku: "Wahai Ibnu Asad, coba putuskan, aku ini orang hidup atau telah mati? Setiap hadits yang shahih dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam sesungguhnya aku akan mengatakannya, walaupun belum sampai kepadaku." (lihat "Manaqib Asy-Syafi’i rahimahullah" karya al-Imam Baihaqi, 1/421).
Beliau juga telah membantah para pengingkar hadits ahad sebagai hujjah dalam maslah aqidah dan beliau memaparkan dalil-dalillnya.
3. Mengagungkan Pemahaman Salaf (para Sahabat radhiallahu’anhum) dan Mengikuti Mereka.
Sungguh pemaham Sahabat radhiallahu’anhum di kalangan ulama salaf memiliki kedudukan yang tinggi dan agung. Para Sahabat radhiallahu’anhum, merupakan qudwah (teladan) mereka baik dalam urusan agama ataupun dunia. Mereka seperti yang disebutkan oleh Ibnu Mas'ud : "Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang meniti jalan, maka hendaklah dia meniti jalan orang yang telah meninggal dunia karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari godaan. Mereka adalah Sahabat Muhammad shalallahu’alaihi wasallam. Mereka adalah umat yang paling utama, paling dalam ilmunya dan paling tidak membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahuwata’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka ketahuilah keutamaan mereka dan ikuti langkah-langkah mereka. Berpeganglah semampu kalian dengan akhlak dan agama mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus." (lihat "Jami' Bayanil 'Ilmi" 2/97 dan "Dar'ud Ta'arudh" 5/69).
Hudzaifah rahimahullah berkata: "Wahai sekalian ahli Qur'an, luruslah kalian dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian. Maka, demi Allah Subhanahuwata’ala, jika kalian lurus niscaya kalian telah melangkah jauh ke depan. Namun jika kalian menyimpang ke kanan dan ke kiri, maka kalian telah tersesat dengan kesesatan yang jauh." (disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab "Minhajus Sunnah, 5/81)
Al Imam Ahmad mengatakan: "Prinsip sunnah (aqidah) di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang telah dilalui oleh para Sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. (lihat "Jami' Bayan Al-Ilm 2/97 dan Minhajus Sunnah 6/81).
Post A Comment
No comments :
Punya pertanyaan seputar Islam dan ingin menanyakannya langsung ke ustadz? Silahkan ketik pertanyaannya pada kolom yg disediakan di bawah ini.