Ja'far bin Abi Tholib, Pemilik Dua Sayap Berlumuran Darah Yang Wajahnya Mirip Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam (Bag. 1)

Di kalangan bangsa Quraisy, waktu itu sudah dikenal bahwa Abu Tholib merupakan sosok yang memiliki ketinggian akhlak dan harga diri serta wibawa. Dia adalah pemuka Quraisy yang dihormati kedudukannya di tengah-tengah kaumnya, memiliki kelembutan hati, penyantun dan memiliki banyak anak.

Salah seorang anaknya ada yang bernama Ja'far. Ja'far bin Abi Tholib adalah saudara kandung dari Ali bin Abi Tholib. Dan diantara keduanya, yang paling mirip wajahnya dengan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah Ja'far. Baik wajahnya, warna kulitnya yang putih kemerahan, rambut, dan postur tubuhnya begitu sangat mirip dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga bagi orang yang memiliki pandangan lemah, tidak bisa membedakan di antara keduanya.

Pada suatu masa, di Jazirah Arab terkena dampak kekeringan yang lama. Hal ini berdampak pada kondisi orang-orang Quraisy di sana dimana kekeringan yang panjang membuat suplai air berkurang sehingga merusak penghidupan dan perekonomian mereka. Saking parahnya, orang-orang Quraisy terpaksa harus memakan tulang-tulang sisa yang ada di dapur-dapur mereka.

Di dalam keluarga Bani Hasyim pada saat itu, sosok yang memiliki kedudukan tinggi dan terpandang sekaligus kaya adalah Muhammad bin 'Abdullah dan Pamannya Al 'Abbas.

Pada suatu hari, Muhammad bin Abdullah mendatangi pamannya Abbas dan berkata," Wahai pamanku, kita tahu bahwa saudaramu Abu Thalib memiliki anak yang banyak. Dan kita tahu juga bahwa kondisi saat ini sedang berada dalam kesusahan dan banyak yang kelaparan. Aku minta pendapatmu, bagaimana kalau kita pergi ke rumahnya dan kita bahwa sebagian anaknya untuk meringankan bebannya. Aku akan membawa salah satu anaknya dan kau pun membawa yang lainnya. Kita cukupkan kebutuhan keduanya sehingga bisa meringankan beban dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga."

"
Sungguh ini merupakan ide yang baik dan anjuran yang baik pula," jawab Al-Abbas senang.

Dan keduanya pun berangkat bersama menemui Abu Tholib. Sesampainya di rumah Abu Tholib, maka disampaikanlah niat mereka kepadanya.
"Kami datang kesini untuk meringankan beban dan tanggungjawab mu terhadap anak-anakmu. Izinkanlah kami merawat sebagian anakmu sampai musibah dan bencana yang sedang kita alami ini berakhir."
Abu Tholib menjawabnya dengan nada sedih," kalau demikian keinginan kalian berdua, silahkan bahwa anakku yang kalian inginkan, tapi jangan bawa Aqil."

Ja'far bin abi tholib adalah pemimpin kaum muslimin saat hijrah ke negeri habasya dan panglima perang kaum muslim saat menakhlukkan romawi.


Setelah mendapat izin dari Abu Tholib, akhirnya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memilih Ali untuk beliau bawa, sedangkan Al Abbas memilih Ja'far. Mereka pun membawa keduanya pulang ke rumah masing-masing dan merawatnya serta memenuhi kebutuhan hidupnya.

Waktu berlalu, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan Ali hidup bersama hingga akhirnya Allah mengutus beliau dengan agama dan petunjuk yang haq sebagai seorang nabi. Dan Ali pun menjadi orang yang pertama di kalangan para pemuda yang mengimani kerasulan beliau dan memeluk Islam.

Di tempat lain, Al-Abbas pun demikian terhadap Ja'far. Dia merawatnya dan memenuhi kebutuhan hidupnya hingga Ja’far mencapai usia dewasa dan masuk Islam.

Ja’far dan istrinya yang bernama Asma’ binti Umais masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Mereka berdua mengalami masa pahitnya saat memeluk Islam di awal-awal pertama dakwah ini disyi’arkan. Halangan dan gangguan datang silih berganti sebagaimana yang dialami oleh orang-orang yang masuk Islam lainnya. Namun keduanya tetap bersabar karena mereka yakin bahwa jalan menuju surga memang penuh duri, kesukaran dan kesulitan serta rintangan.

Untuk bisa beribadah dengan tenang dan menikmati lezatnya Iman, Ja’far bersama sang istri memohon kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam agar diperbolehkan untuk berhijrah ke negeri Habasyah (Ethiopia sekarang) bersama rombongan yang lainnya. Rasa senang hati mereka terima saat Rasulullah shalallohu ‘alaihi wassalam memberi izin kepada mereka berdua walaupun dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan keluarga dekatnya yang mirip dengan dirinya itu.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam walaupun memiliki rasa sedih yang mendalam namun tetap merelakan orang-orang yang dikasihinya untuk berhijrah meninggalkan rumah-rumah dan keluarga mereka. Mereka rela meninggalkan itu semua demi mempertahankan keimanan mereka. Dan gelombang pertama dari kalangan Muhajirin pun berangkat ke negeri Habasyah. Begitu juga Ja’far bin Abi Tholib bersama istrinya.

Sesampainya di negeri tersebut, mereka mendapat perlindungan dan jaminan keamanan dari Raja Najasyi, Sang Penguasa negeri yang terkenal adil dan saleh. Di negeri itu pula mereka mendapatkan kenikmatan kebebasan dalam beribadah. Kelezatan iman saat melaksanakan ibadah tanpa ada gangguan dan halangan merupakan hal yang mereka idam-idamkan. Dan di negeri Habasyah tersebut mereka dapatkan.

Di lain pihak, begitu mendengar kepergian orang-orang Islam menuju negeri Habasyah dan mendapat jaminan keamanan dari rajanya, orang-orang kafir Quraisy pun merasa kebakaran jenggot. Mereka pun mulai menghasut orang-orang yang ingin berhijrah menyusul saudara seiman mereka ke negeri Habasyah dengan melakukan intimidasi, pembunuhan dan memenjarakan siapapun yang berkeinginan pergi ke sana.

Mari kita lanjutkan kisah Ja'far bersama istrinya yang telah sampai ke negeri raja Najasyi yang melindungi mereka tersebut dengan mendengarkan langsung kisahnya dari salah seorang shohabiyah (shahabat wanita) yang juga turut hijrah bersama mereka yang bernama Ummu Salamah.
Ummu Salamah pun bercerita:

Setibanya kami di negeri Habasyah, dan mendapat jaminan keamanan untuk beribadah dari raja Najasy, kami pun tinggal di sana dengan tenang. Namun ketenangan kami itu tidak berlangsung lama. Orang-orang Quraisy tetap tidak suka dengan keberadaan kami di negeri itu. Mereka mengutus dua orang yang kuat dan bijaksana di kalangan mereka untuk menghadap Raja Najasyi. Kedua orang tersebut adalah Amar bin al-'Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Kedua utusan Quraisy itu akan datang menghadap Raja Najasyi dengan membawa hadiah yang cukup banyak. Namun pembesar Quraisy berpesan kepada mereka berdua untuk tidak menghadap raja terlebih dahulu, namun menghadap kepada uskup-uskup mereka dulu dan memberikan hadiah-hadiah kepada uskup tersebut sebelum bertemu dengan raja Najasyi.

Kedua utusan itu pun berangkat lah. Sesampainya mereka berdua ke negeri Habasyah, sebagaimana strategi yang telah mereka atur sebelumnya, mereka tidak menemui Raja Najasyi terlebih dahulu. Namun mereka menemui para uskup-uskupnya dan memberikan hadiah yang banyak kepada mereka. Mereka berdua pun berkata kepada para Uskup tersebut:

"Kami datang ke sini oleh sebab ada beberapa orang dungu dari kalangan kami yang murtad terhadap agama nenek moyang kami. Mereka memecah-belah kaum kami dari lari ke negeri kalian ini. Untuk itu jika nanti kami berdialog dengan raja kalian, bujuklah dan berilah pandangan kepada raja kalian untuk menyerahkan orang-orang tersebut kepada kami kembali untuk kami bawa pulang."

Para uskup pun setuju dan mengabulkannya. Dan kesukaan harinya, kedua utusan Quraisy ini pun menghadap sang raja. Sebagaimana yang diberikan kepada para uskup sebelumnya, kepada raja Najasyi pun mereka serahkan banyak hadiah sehingga membuat sang raja takjub dan berterima kasih kepada kemurahan hati mereka berdua.

Setelah melihat sang raja senang, mereka pun melancarkan makarnya dan berkata: " Wahai raja yang mulia, sungguh telah datang ke negeri ini beberapa orang dari kalangan kami yang bodoh yang meminta perlindungan dan jaminan keamanan kepada anda. Mereka telah membawa sebuah agama yang tidak kami ketahui sebelumnya. Mereka meninggalkan agama nenek moyang kami dan di sini pun tidak masuk ke dalam agama kalian.

Oleh sebab itu kami diutus oleh kaum kami untuk datang ke hadapan Anda untuk meminta agar orang-orang murtad itu bisa kami bawa pulang dan kami kembalikan kepada keluarga-keluarga mereka. Sungguh kamilah yang lebih mengetahui fitnah yang telah mereka lakukan di negeri kami sebelum mereka semua sampai ke sini."

Raja Najasyi pun lalu menoleh ke arah para uskup dan minta pendapat mereka. Sesuai apa yang telah mereka sepakati, para uskup pun menjawab,

"Benar sekali wahyu Raja kami. Kaum mereka lebih mengetahui keadaan mereka terhadap apa yang telah mereka perbuat di negeri mereka. Maka kembalikanlah mereka kepada kaum mereka tersebut sehingga mereka bisa melakukan apa yang mereka inginkan."

Mendengar penjelasan para uskup tersebut, memerah lah wajah sang raja dan berkatalah sang raja kepada para uskup tersebut,

"Sungguh aku tidak akan melakukannya. Demi Allah aku tidak akan menyerahkan seorangpun di antara mereka sampai aku memanggil dan mendengarkan penjelasan mereka terhadap apa yang dituduhkan kepada mereka. Jika memang benar seperti keadaan yang dikabarkan kepadaku tentang mereka, maka aku pun akan menyerahkannya. Namun jika tidak benar, maka aku akan tetap memberi perlindungan dan jaminan keamanan kepada mereka untuk tinggal di negeriku ini."
Kemudian sang raja pun menyuruh utusan-nya untuk memanggil kaum muslimin yang berhijrah ke negerinya tersebut.

Mari kita lanjutkan Ummu Salamah melanjutkan kisahnya:

Sebelum memenuhi panggilan sang raja Najasyi, kami berkumpul terlebih dahulu untuk merembukkan siapa yang ditunjuk sebagai pembicara mewakili kami semua. Dan diputuskan lah bahwa yang menjadi juru bicara mewakili kaum muslimin adalah Ja'far bin Abi Tholib. Dan disepakati pula bahwa hanya Ja'far bin Abi Tholib yang boleh berbicara, sedangkan yang lainnya diharapkan diam.

Kami pun bersiap-siap menghadap Raja Najasyi. Sesampainya kami di hadapan raja, para uskup sudah duduk di samping kiri dan kanan raja. Mereka mengenakan selendang hijau yang biasanya dipakai oleh para pembesar dan tokoh agama mereka dan sebagian ada yang mengikatkannya di kepala mereka. Dan ternyata utusan kafir Quraisy Amr Bin al-'Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah telah duduk pula tengah-tengah mereka.

Setelah kami dipersilahkan duduk, Raja Najasyi menoleh dan bertanya kepada kami:

"Wahai tamu kami, agama apakah yang telah kalian ada-adakan sehingga menyebabkan kaum kalian terpecah belah? Kalian tidak masuk ke dalam agama kami dan tidak pula berada di tengah-tengah agama kalian."

Ja'far bin Abi Tholib pun maju dan menjawab:

"Wahai raja yang adil, sesungguhnya kami dahulu adalah kaum jahiliyah yang memiliki akhlak dan adab yang jelek. Kami menyembah berhala dan patung yang kami buat sendiri. Kami juga memakan bangkai, berbuat keji dan memutuskan tali persaudaraan di antara kami. Bukan itu saja, kami juga berbuat tidak baik kepada tetangga kami. Kami berbuat kasar kepada yang lemah dan tidak berbuat kebajikan. Demikianlah terjadi terus-menerus sampai akhirnya Allah mengutus rasul ke tengah-tengah kami seseorang yang kami kenal kejujurannya, amanahnya dan kehormatannya.

Utusan Allah itu mengajak kami kejalan yang baik, yaitu beribadah hanya kepada-Nya, tidak menyekutukannya dengan makhluk apapun dan meninggalkan sesembahan-sesembahan yang dulu kami dan nenek moyang kami beribadah kepadanya berupa berhala yang terbuat dari batu dan kayu.

Utusan Allah itu juga memerintahkan kami untuk berlaku jujur dan berkata yang baik, menunaikan amanah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik terhadap tetangga, meninggalkan perbuatan yang haram, tidak menumpahkan darah secara semena-mena, melarang berbuat keji dan mungkar, melarang berkata dusta, juga melarang kami memakan harta anak yatim dan menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bukti dan saksi.

Utusan Allah itu juga memerintahkan kami untuk beribadah hanya kepada Allah semata, tidak menyekutukannya, tidak berbuat syirik, menegakkan sholat, membayar zakat dan berpuasa di bulan Ramadhan.

Lalu seruan utusan Allah itu kami benarkan dan kami beriman kepadanya. Kami haramkan apa yang Allah haramkan dan kami halalkan apa yang Allah halalkan.
Namun apa yang kami terima justru sebaliknya, wahai raja yang adil…. Kaum kami justru memusuhi kami dan menyiksa kami. Kami dilarang mengikuti utusan Allah itu dan memaksa kami untuk tetap dalam agama nenek moyang kami.

Akhirnya kami disiksa dan diperangi. Kami terus mendapat siksaan dan tekanan sampai akhirnya kami tidak tahan lagi dan hijra menuju negeri Anda ini untuk mendapat perlindungan dan keamanan. Kami memilih negeri Ini dari negeri yang lain dan kami pun bersemangat sekali untuk bertetangga dengan Anda. Dan terakhir, kami meminta kepada anda untuk tetap diizinkan tinggal di sini, sehingga kami bisa tetap beribadah sesuai apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya kepada kami.

Setelah mendengarkan penjelasan Ja'far bin Abi Tholib, Raja Najasyi pun melanjutkan pertanyaannya:

"Apakah kalian membawa bukti yang dibawa oleh Nabi kalian itu?" tanya sang raja.

"Ya, ada wahai sang raja,"

"Bacakanlah untukku cepat," perintah sang raja ingin tahu.

Lalu Ja'far bin Abi Tholib pun membaca beberapa ayat di dalam Surat Maryam.

Raja Najasyi pun menangis tersedu-sedu mendengarkan bacaan Surat Maryam tersebut. Air matanya mengalir membasahi pipi hingga jenggotnya. Para uskup pun berlinang air mata membasahi catatan-catatan yang berada di tangan-tangan mereka mendengarkan kalam Allah itu.

Lalu Raja Najasyi pun bersabda:
"Sungguh apa yang dibawa oleh Nabi kalian itu adalah sama dengan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam."

Lalu Raja Najasyi pun menoleh kepada kedua utusan kafir Quraisy tadi dan berkata: "Pulanglah kalian berdua. Demi Allah aku tidak akan menyerahkan tamuku itu kepada kalian karena apa yang mereka bawa adalah kebenaran."

Ummu Salamah melanjutkan kisahnya:
Lalu kami pun ikut mengundurkan diri di hadapan raja. Namun takkala kami keluar, Amar bin al-'Ash menyeru kepada temannya:

"Sungguh demi Allah aku akan benar-benar mendatangi sang raja esok hari dan menyebutkan perihal mereka yang akan menyebabkan sang raja marah dan benci kepada mereka, memotong pangkal dan mencabut akar mereka!"

Namun Abdullah bin Abi Rabi’ah menimpalinya,"Janganlah berbuat demikian wahai Amr. Sesungguhnya mereka juga keluarga dan kerabat kita walaupun mereka menyelisihi agama nenek moyang kita."

Namun Amar bin al-'Ash tetap bersikukuh dengan tekadnya,

"Tidak…! Aku akan katakan kepada sang raja bahwa mereka mengatakan Isa bin Maryam adalah seorang hamba."

Keesokan harinya, Amar bin al-'Ash memenuhi tekadnya menemui sang raja Najasyi dan berkata,

"Wahai raja yang mulia, sesungguhnya orang yang telah anda lindungi dan izinkan tinggal di negeri ini telah berkata jelek terhadap Isa bin Maryam."

Akhirnya sampai juga berita kepada kami tentang apa yang telah diadukan Amr Bin al-'ash kepada raja Najasyi tentang Isa bin Maryam. Kami pun merasa khawatir dan bingung, apa yang harus kamu jawab tak kala kami ditanya sang raja perihal posisi Isa bin Maryam dalam keimanan kami.

Bersambung ke bagian 2, silahkan baca disini: ( Panglima Perang Islam Ja'far Bin Abi Tholib )
Post A Comment
  • Facebook Comment using Facebook
  • Blogger Comment using Blogger
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :

Punya pertanyaan seputar Islam dan ingin menanyakannya langsung ke ustadz? Silahkan ketik pertanyaannya pada kolom yg disediakan di bawah ini.


Kabar Luar Negeri

[Kabar-Luar-Negeri][threecolumns]

Kabar Dalam Negeri

[Kabar-Dalam-Negeri][list]

Artikel

[Artikel][bleft]

Belajar Islam

[Belajar-Islam][twocolumns]

Kabar Islam

[Kabar-Islam][grids]

Ahlul Kitab

[Ahlul-Kitab][bsummary]